26.2.12

MOVIES LIKE JAGGER!

Hello, blogosphere! Sebulanan ga nulis, grogi juga ya, haha
*sambil mbersihin sarang laba-laba*

Sibuk eksperimen sih. Soal perfilman, jadi ga sempet mulu mau update blog. *alasan*

Dan apa yang saya dapatkan selama absen kemarin? Luar biasa. Semakin ke sini perkembangan perfilman Indonesia semakin apik. Masih segar, jikalau kita bisa melarikan ingatan ke hutan lalu membelokkannya ke pantai, film “Ada Apa Dengan Cinta?”. Meskipun lebih dahulu ada “Petualangan Sherina”, film yang baru saja diputar lagi di bioskop ini yang menurutku lebih pantas jadi pioneer, awal dari energi positif perfilman Indonesia. Dan awal dari impian muda-mudi melakukan adegan kejar-kejaran di bandara seperti Rangga dan Cinta. (gak yakin ni adegan bisa beneran ada dan nyata di bandara).

Berlanjut ke tahun-tahun berikutnya, film-film yang menurut saya pantas disebut fenomenal, sesuatu, atau paling tidak pantas ditonton, seperti Jelangkung, 30 Hari Mencari Cinta, Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, Realita Cinta dan Rock n Roll, Get Married, Ayat-ayat Cinta, The Tarix Jabrix, Punk in Love, Laskar Pelangi, dan Catatan Harian si Boy. Ada yang terlewat? Hehe lengkapi ya mas sis, ga semua film juga saya tonton :D

Saya bisa menyimpulkan kalau perkembangan perfilman Indonesia sedang luar biasa juga bukan tanpa alasan. Di 2 bulan awal tahun 2012 ini paling ngga udah 3 kali keluar masuk toilet bioskop. Tapi karena ga enak numpang kencing doang, jadilah mampir juga ke salah satu studionya, nonton. Dan di 3 kali kesempatan itu film Indonesia lah yang diputar. Hafalan Surat Delisa, #republiktwitter, dan yang baru saja ditonton kemarin, Dilema. Entah kebetulan atau apa, ada rasa puas dan tak ada penyesalan pasca menonton film-film tersebut. Kok bisa? Baiklah, let me kupas them satu by satu, meskipun tak setajam silet, paling tidak akan setajam ujung kaki penari balet. *krik* *jangkrik di mana-mana*

1.    Hafalan Surat Delisa


Diangkat dari novel berjudul serupa karangan Tere Liye yang aku sendiri juga belum baca, film ini bercerita tentang tegarnya seorang anak bungsu dari keluarga sederhana, Delisa (Chantiq Schagerl, yang pasti tambah chantiq saat menginjak usia belasan nanti. Amat menyentuh. Saat Delisa melakukan ujian praktek sholat dan hafalan surat di suatu SD di Lhok Nga, Aceh, bencana maha dahsyat tsunami tiba-tiba menerjang. Beruntung, beberapa hari kemudian Delisa ditemukan masih hidup di karang pinggir laut, di tengah puluhan mayat tetangganya oleh tim rescue, seorang mas-mas bule yang ganteng. #lostfocus

Dan dari sinilah perjuangan Delisa dimulai. Satu kaki yang harus diamputasi dan nyawa  keluarganya yang tidak tertolong mungkin membuat anak seusia Delisa berharap untuk turut mati saja saat bencana. Tapi Delisa tidak begitu. Beruntung pula ayah Delisa (Reza Rahadian) yang saat kejadian berada di laut lepas berhasil menemukan Delisa di pengungsian, sehingga Delisa tidak sendiri.
Ketegaran Delisa dalam melanjutkan hidup sangat menginspirasi. Menjalani kehidupan sebagai piatu, Delisa tetap berusaha kuat, periang, dan menjadi penyemangat teman-teman dan orang-orang terdekatnya untuk tetap tegar.

Terlepas dari special effect yang menyedihkan (tsunami is a huge thing, isn’t it?), film ini mempunyai cerita yang kuat serta acting yang total dari para pemainnya, terutama Reza Rahadian. Ditopang taking dengan angle yang bagus, view pantai yang indah, serta begitu terlihatnya dampak pasca tsunami, I can say that Hafalan Surat Delisa ini recommended buat film keluarga. Banyak pelajaran yang bisa dipetik di sini, terutama untuk mereka keluarga muslim. :)

2.    #RepublikTwitter


This is it! Tagar di awal judul menyuratkan bahwa ini film twitter banget. Siapa sih yang belom tau soal burung biru yang kuat ngangkat paus itu? Mamaku aja tau.

Yap, #RepublikTwitter secara apik mampu mengemas fenomena jejaring sosial yang sedang booming Indonesia ini. Film ini mampu mengangkat satu isu menarik dan mungkin belum diketahui banyak orang di balik simple nya Twitter: Buzzer. 

Kisah berawal saat Sukmo (Abimana Aryasatya) tiba di Jakarta untuk memperjuangkan cinta atas seorang jurnalis bawel, Hanum (Laura Basuki). Tapi perjuangan Sukmo ternyata tidak semudah yang dibayangkan. We all know, sometimes seseorang versi maya itu beda banget dengan versi nyata, we can’t always be ourselves, itulah pencitraan.

Di tengah kegalauannya, singkat cerita keahlian Sukmo mengolah 140 karakter membawanya ke sebuah warnet dan menjalani profesi tidak biasa: Admin akun twitter orang-orang penting. Misinya adalah menjadikan seseorang Trending Topic di Twitter melalui politik pencitraan, hingga orang itu terkenal, dan rakyat mendukungnya. Karena memang, saat ini, suara twitter adalah suara rakyat.
Jujur saya kagum, ternyata di balik sepik-sepikan dan ribuan tweet galau itu, ada bisnis bawah tanah yang bisa mengatur isu di Twitter sedemikian mudahnya. Semudah menjadikan seseorang artis dalam sehari, atau menjadikannya bahan untuk dicaci. Buzzer.

Terlepas dari benar atau tidaknya fenomena tersebut, saya percaya kalau fenomena itu memang ada. Penulis cerita bisa menulis tentang hal itu pasti juga berdasarkan pengamatan di twitter kan? Ingat, selebtwit bisa mudah saja mempengaruhi ribuan follower hanya dari tweet nya kan?

Ok, back to the film. Kepentingan rekan kerja, persoalan cinta, dan obsesi sebagian pihak membuat banyak konflik tak terelakkan terjadi di film ini. Seru, emosinya kerasa. Dengan bumbu humor dari istilah-istilah lucu macam ‘Generasi Menunduk’, ‘Loe-Gue-End’, guyonan ala anak twitter plus muka gokil Abimana, membuat saya yang juga anak twitter ini ngikik sendiri malu-malu dan berpikir dalam hati: “Iya juga ya?”. Dan ya, film ini memang enaknya ditonton rame-rame sama teman-teman yang juga anak twitter. Kalau ngga, pasti banyak ga nyambung nya deh. :D

Oh ya, iseng-iseng searching, ternyata the couple does exist di twitterland. Epicness.
Sukmo -> @lorosukmo. Hanum -> @DyahHanum :))

3.    Dilema


Sebenarnya sempat dilema juga saat diajak menonton ini film, benar-benar buta dan baru denger di hari H pas diajakin, haha jadi ga punya ekspektasi apa-apa tentang film ini.

Dan setelah sebelumnya mampir dulu ke toilet bioskop, film pun diputar. Langsung terpesona ama taking nya, efek kameranya, penokohannya, dan bintang-bintangnya. Ketemu lagi ama ayahnya Delisa, Ario Bayu-nya Catatan si Boy, dan mas @lorosukmo :))
10 menit awal langsung dibuat terpesona juga dengan panasnya pantai dalam arti denotatif, dan panasnya Pevita Pearce dalam arti konotatif. Pffft.

Fokus! Film ini mengangkat berbagai sisi gelap kehidupan Jakarta, mulai dari isu kepolisian, narkoba, broken home, mafia, perjudian tersembunyi,  hingga aliran garis keras, yang memang sedang menjadi headline media saat ini. Heat. Tapi tetap disajikan dengan cerita yang berimbang dan tidak memihak. Suka. :)

Paling tidak ada 5 cerita dengan settingan yang berbeda disajikan, yang pada akhirnya bermuara pada satu titik yang menghubungkan kelimanya. Ya, betul. Seperti film Babel (2006) jika kalian pernah menontonnya. Tak heran banyak bintang yang turut andil dalam film ini. Sebut saja Slamet Rahardjo, Tio Pakusadewo, Roy Marten, Jajang C. Noer, Lukman Sardi, Winky Wiryawan, Baim Wong, Aryo Bayu, Reza Rahadian, dan Pevita Pearce. Pffft. :))

Selain karena sayang uang tiketnya, alur cerita yang tidak terduga membuat penasaran untuk menonton sampai akhir. Paling suka sama takingnya. Mungkin pengaruh dari 4 orang sutradara muda yang diboyong sang produser anyaran, Wulan Guritno. And yes, Wulan Guritno did her best! :)


Suka. Ini pertanda. Atau kalau anak twitter bilang, #kode.
Setelah beberapa tahun didominasi oleh film-film yang jual birahi, setan yang mengada-ngada, atau perpaduan keduanya. Bukan berarti tidak mengapresisasi karya seseorang, but c’mon dude. We need quality, not quantity. Dan sekarang sepertinya quality mulai bertemu quantity. Baru 2 bulan sudah 3 film lokal bermutu yang tayang. Perfilman Indonesia sepertinya bergerak ke arah yang lebih baik. Movies like jagger. :))

Baiklah, semoga insan perfilman Indonesia tetap menjaga momentum ini. Supaya kami, para penikmat lebih ikhlas untuk membelanjakan waktu, tenaga, dan biaya untuk menikmati karya kalian. Ikut bangga lho kalau film Indonesia bisa sukses, minimal di dalam negeri, syukur-syukur sampai luar negeri. *nungguin The Raid tayang*

Majulah perfilman Indonesia!