8.7.14

Janji-Janji Kampanye di atas Jalanan Terjal Cost Recovery



Masyarakat kembali menyaksikan debat calon presiden antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum, di Jakarta, Minggu (15/6). Prabowo fokus pada kekayaan negara untuk anggaran, sementara Jokowi memprioritaskan pembangunan sistem. Debat calon presiden (capres) dibagi dalam enam sesi. Sesi pertama adalah pemaparan visi-misi oleh kandidiat yang dilanjutkan dengan bedah visi-misi yang diinisiasi pertanyaan oleh moderator.
Yang menarik adalah sesi kedua dan ketiga yang berisi penjelasan kandidat atas tema yang ditanyakan oleh moderator. Tema pertama tentang program pengentasan rakyat dari kemiskinan dan strategi penciptaan lapangan kerja. Tema kedua adalah tentang kebijakan mengendalikan pertumbuhan penduduk dan strategi meningkatkan akses serta layanan kesehatan bagi perempuan.
Salah satu calon memulai debat dengan menyitir pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham M Samad pada 7 Sepetember 2013 bahwa kebocoran dan kehilangan kekayaan negara mencapai Rp7.200 triliun per tahun. Menurutnya, dia akan memprioritaskan penyelamatan kekayaan negara sedikitnya Rp1.000 triliun per tahun dengan efisiensi dan mengalihkannya untuk ekonomi kerakyatan. Salah satu caranya adalah meminimalkan korupsi anggaran dari APBD dan APBN dalam lima tahun. Dana yang didapat dari efisiensi tersebut akan dialokasikan minimal Rp 1 miliar per tahun untuk setiap desa/kelurahan guna menggerakkan ekonomi pedesaan. “Kami akan bekerja sekeras-kerasnya sehingga seluruh penghasilan bangsa Indonesia akan naik dan kita kuat. Kekayaan Indonesia harus untuk rakyat Indonesia, tidak boleh kita biarkan bocor terus dan mengalir ke luar negeri” ujarnya.
Secara terpisah, tim sukses calon tersebut menyebutkan bahwa calon yang dia dukung bertekad mengurangi subsidi energi dan menambah penerimaan negara melalui mekanisme pajak dan cukai. Hal positif dari calon ini adalah menekankan masalah korupsi, kekayaan alam, dan birokrasi yang mendesak dibenahi, namun sayang tidak dijelasakan cara penegakan hukum yang dipakai untuk menyelamatkan anggaran.
Di atas adalah petikan headline artikel Kompas “Fokus Anggaran dan Sistem”, hari Senin 16 Juni 2014, tepat satu hari setelah debat calon presiden 2014-2019 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Malam itu, menarik ketika adu argumen antar capres dimulai, karena kali ini debat menunjukkan kemampuan setiap kandidat tanpa pasangannya. Masyarakat disuguhi pemandangan langsung kapasitas masing-masing calon dalam menghadapi permasalahan negara ini, dalam hal ini adalah perekonomian.

Mengangkat tema “Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial”, debat kemarin menjadi menarik dan amat ditunggu-tunggu bagi rakyat Indonesia termasuk saya, seorang mahasiswa Diploma IV Akuntansi STAN. Ya, ilmu yang saya emban selama menempuh pendidikan di sini sedikit banyak mempengaruhi pemikiran saya tentang perekonomian di Indonesia. Sekilas yang dapat saya simpulkan, salah satu capres fokus membahas isu makro sehingga implementasi program kurang terlihat, sementara calon satunya lebih membumi dengan contoh praktis. Salah satu calon presiden menekankan masalah korupsi, kekayaan alam, dan birokrasi yang mendesak dibenahi, namun sayang tidak dijelasakan cara penegakan hukum yang dipakai untuk menyelamatkan anggaran.

Beberapa target kebijakan makro kedua calon presiden-wakil presiden ini menarik, dan saya yakin semuanya adalah untuk menuju Indonesia yang lebih maju. Pendapatan per kapita yang ditingkatkan, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, peningkatan daya serap angkatan kerja, peningkatan penerimaan perpajakan untuk perbaikan angka tax ratio adalah wacana yang diangkat oleh kedua pasang calon ini. Ada satu hal yang saya soroti, yaitu komitmen salah satu calon untuk mengatasi kebocoran dan kehilangan kekayaan negara mencapai Rp7.200 triliun per tahun, menurut data yang dia dapat dari KPK. Menurutnya, dia akan memprioritaskan penyelamatan kekayaan negara sedikitnya Rp1.000 triliun per tahun dengan efisiensi dan mengalihkannya untuk ekonomi kerakyatan. “Kekayaan Indonesia harus untuk rakyat Indonesia, tidak boleh kita biarkan bocor terus dan mengalir ke luar negeri,” ujarnya.

Ketika saya menonton langsung perhelatan debat capres itu, saya senang ketika beliau sadar bahwa banyaknya program-program yang dijanjikan tidak memikirkan sumber dana. “Uangnya darimana?”, ujarnya saat itu. Namun sayang malah bidang penerimaan (pajak dan PNBP) tidak disoroti, beliau hanya menyoroti bidang pengeluaran, dalam hal ini pengeluaran yang selalu terjadi kebocoran. Memang belum jelas bagi saya apa makna kebocoran yang dimaksudkan oleh capres tersebut, namun yang pasti saya aminkan untuk statement bahwa kekayaan Indonesia harus untuk rakyat Indonesia. Hal ini pun juga sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Kebocoran yang dimaksud pun adalah kebocoran yang spesifik, yaitu aliran ke luar negeri.

Ya, seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang terkenal melimpah, yang apabila didayagunakan dengan benar, akan menimbulkan dampak luar biasa bagi perekonomian bangsa. Hal ini juga yang menarik para investor asing untuk menanamkan modal atau sedikit ‘mencicipi’ kekayaan alam Indonesia dengan berbagai skema yang ada. Mungkin ini yang menjadi sorotan dari salah satu capres itu, bahwa pengawasan terhadap ekspoitasi sumber daya alam Indonesia oleh investor asing harus diperketat, karena  pada kontrak-kontrak tersebut dimungkinkan terjadi kebocoran penerimaan negara.

Baik, apabila capres tersebut telah aware dengan pencegahan kebocoran penerimaan negara tapi belum memberikan gambaran implementasi yang jelas, maka sumbangan pemikiran amat dibutuhkan di sini, karena sejatinya kebocoran penerimaan negara bukanlah masalah yang dihadapi oleh presiden saja, tetapi juga segenap bangsa dan negara Indonesia. Saya sebagai bagian dari warga negara ketika mendengar kata kebocoran pada kontrak dengan investor asing, langsung teringat pada satu bahasan pada mata kuliah Seminar Perpajakan, yaitu cost recovery pada produksi di bagian hulu minyak dan gas.

Production Sharing Cost (PSC)

Sejak tahun 1964, Indonesia dalam pemanfaatan sumber daya alam migasnya telah memiliki sebuah skema apik, yaitu Production Sharing Cost (PSC). PSC, atau Production Sharing Cost, adalah mekanisme kerjasama pengelolaan migas antara Pemerintah dan kontraktor. Sistem ini diperkenalkan oleh Ibnu Sutowo pertama kali pada tahun 1960, namun baru benar-benar diterapkan pada tahun 1964. Konon, model PSC ini telah ditiru lebih dari 72 negara di dunia, yang tersebar di benua Afrika Utara, Asia, Timur Tengah, Amerika Utara dan Amerika Selatan, sebuah prestasi yang membanggakan dari karya anak negeri.

Pengelolaan migas melalui mekanisme Production Sharing Cost (PSC) menawarkan skema yang menarik bagi para investor asing atau kontraktor penyelenggara produksi migas, dengan tetap memberikan pemerintah posisi sebagai tuan rumah yang ‘dihormati’. Mekanisme Production Sharing Cost (PSC) menempatkan pemerintah sebagai pemilik sumber daya migas yang melakukan kontrak dengan penyelenggara (kontraktor), yang pada setiap akhir periode eksploitasi akan melakukan bagi hasil sesuai porsi yang telah disepakati pada kontrak. Bagi hasil atas produksi dilakukan setelah biaya-biaya yang dikeluarkan terlebih dahulu oleh kontraktor sejak masa eksplorasi hingga eksploitasi mendapatkan penggantian dari pemerintah, dengan ketentuan tertentu, tentunya. Ketentuan yang dimaksud adalah mana-mana saja biaya yang dapat masuk dalam unsur cost recovery, yang diatur pada Permen ESDM Nomor 22 Tahun 2008 untuk biaya-biaya yang tidak dapat dikembalikan, dan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi.

Gabungan peraturan Permen ESDM Nomor 22 Tahun 2008 dan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 sejatinya dibuat untuk melindungi kepentingan pemerintah yang ingin memaksimalkan penerimaan negara dari sektor migas. Praktik yang terjadi sebelum peraturan dibuat adalah biaya-biaya yang masuk cost recovery terlampau tinggi karena tidak adanya peraturan yang jelas mengenai mana-mana biaya yang bisa diganti dan mana yang tidak. Selain itu, peraturan-peraturan ini juga dirumuskan untuk memberikan kepastian hukum bagi kontraktor atau calon kontraktor mengenai skema penggantian biaya terkait eksplorasi dan eksploitasi hulu migas.

Apabila ditilik dari kacamata kontraktor, skema cost recovery ini sebenarnya adalah skema yang berisiko tinggi. Ya, karena cost recovery hanya akan dipenuhi ketika kontraktor telah sampai pada tahap eksploitasi, dan tidak akan ada penggantian sama sekali ketika kontraktor hanya sampai tahap eksplorasi, dalam hal ini ternyata tidak ada cadangan minyak yang ditemukan. Namun kita telah sering mendengar hukum “high risk high return”, dan memang ketika cadangan minyak ditemukan dan dieksploitasi, keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan minyak amatlah besar, belum lagi biaya-biaya terkaitnya akan mendapatkan penggantian.

Kembali ke masalah kebocoran penerimaan negara, dalam hal ini sektor migas. Ceteris paribus, sebenarnya skema Production Sharing Cost (PSC) yang diterapkan oleh beserta paket peraturan yang menyertainya sudah cukup bagi Indonesia untuk menjamin bahwa penerimaan dari sektor minyak dan gas akan sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun praktik yang terjadi di lapangan, banyak sekali isu-isu dan kasus-kasus yang mewarnai perjalanan PSC ini, yang secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh pada kebocoran penerimaan negara.

Adalah wajar ketika banyak masalah mengemuka, mengingat banyak sekali kepentingan (stakeholder) yang turut ambil bagian dalam pemanfaatan migas ini. Sebut saja BP Migas di bawah Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Indonesian Petroleum Association (IPA), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dan rakyat Indonesia pada umumnya serta masyarakat sekitar daerah hulu migas pada khususnya. Masalah terkait migas muncul sejatinya telah muncul sejak zaman kemerdekaan, namun saya merasa bahwa ketika paket peraturan mengenai cost recovery disahkan, masalah yang mengemuka semakin banyak, terlihat dari semakin masifnya pemberitaan di media di medio 2009-2013. Isu yang muncul dan menurut saya menarik adalah terkait besarnya cost recovery pada APBN, tuntutan biaya CSR untuk masuk dalam cost recovery, serta peranan BP migas yang diragukan.

Cost recovery vs. APBN

Isu pertama adalah  terkait besaran cost recovery pada APBN. Banyak yang menyoroti hal ini, karena setiap tahunnya besaran cost recovery selalu merangkak naik, sementara lifting minyak selalu mengalami penurunan. Ada pandangan yang menyebutkan bahwa cost recovery tidak mempunyai hubungan linier dengan produksi migas. Pandangan ini dapat dibenarkan, mengingat cadangan minyak yang selalu berkurang, peralatan eksplorasi-eksploitasi yang semakin tua sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tidak sedikit, dan harga minyak mentah yang semakin tinggi. namun hal ini tidak sejalan dengan tren yang terjadi di mana cost recovery dianggap sebagai stimulus produksi minyak mentah, sebagai hal yang selalu menjadi tuntutan para kontraktor migas pada pemerintah untuk menaikkannya agar produksi migas bisa optimal dan mengalami kenaikan. Harus ada penelitian lebih lanjut yang mengulas tentang hubungan cost recovery dengan penerimaan minyak dan gas, harus didapatkan satu titik ekuilibrium di mana besaran cost recovery akan linier dengan penerimaan migas.

Pemerintah pun harus mengambil sikap dalam cara pandang, apakah memandang cost recovery sebagai biaya, atau sebagai investasi. Cost recovery adalah sebuah konsekuensi yang harus dibayarkan pemerintah atas biaya operasi kontraktor. Risiko yang muncul atas kegagalan eksplorasi sudah ditransfer kepada kontraktor, hal ini seharusnya juga menjadi pertimbangan pihak-pihak yang kurang legowo atas besarnya nominal cost recovery pada porsi APBN. Sekali lagi, selama pengawasan dapat memastikan akuntabilitas dari mekanisme cost recovery dalam kaitannya dengan legalitas yang sudah ditetapkan, tidak ada hal yang perlu dipermasalahkan atas besaran cost recovery. Apabila masih dianggap terlalu besar, maka mungkin perlu dilakukan judicial review atas peraturan pemerintah tersebut.

 Tuntutan CSR

Biaya corporate social responsibility (CSR) yang dikecualikan dari cost recovery juga menjadi isu hangat yang muncul. Laporan menunjukkan bahwa setidaknya 52% dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bidang migas tidak dapat beroperasi secara optimal karena adanya gangguan dari masyarakat. Gangguan muncul dikarenakan adanya ketimpangan sosial antara kesejahteraan masyarakat sekitar wilayah eksplorasi-eksploitasi dengan jumlah perputaran uang yang terjadi atas sumber daya di ‘tanah’ mereka. Kontraktor bukannya tidak melakukan CSR, hanya di pelaksanaannya yang kurang optimal. Hal ini disinyalir diakibatkan karena biaya-biaya terkait CSR tidak akan diganti sepenuhnya oleh pemerintah. Ya, peraturan mengatur bahwa ada beberapa komponen yang akan diganti pemerintah, terutama pada komponen community development, dan sebagian komponen lain tidak. Pemerintah berargumen bahwa ketika kontrak ini adalah kontrak bagi hasil, maka setiap penghasilan ataupun biaya yang muncul pada kerjasama ini adalah hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk biaya CSR.

Argumen pemerintah di atas sebenarnya masuk akal, namun KKKS juga mempunyai posisi di sini. Entah ini karena terjebak romantisme pra-peraturan di mana biaya CSR yang masuk unsur cost recovery atau tidak, tuntutan atas penggantian biaya CSR adalah masif. Indikasi terlihat ketika CSR yang dikeluarkan oleh kontraktor turun drastis hingga 60% setelah peraturan diberlakukan. Pengusaha berargumen bahwa dukungan masyarakat sekitar tanpa gangguan adalah salah satu pendukung operasi dari penyelenggara produksi migas, sehingga biaya tersebut wajarnya masuk dalam unsur cost recovery. Selain itu, CSR ataupun comdev yang dilakukan oleh perusahaan juga untuk kesejahteraan rakyat, yang secara tidak langsung juga merupakan dukungan terhadap cita-cita negara Indonesia. Hal ini dapat dibenarkan, namun berdasarkan profesionalisme kerja, CSR tetap harus merupakan ‘beban’ kedua belah pihak.

Maka perlu dikaji secara seksama apakah memang benar dengan dana CSR dimasukan ke cost recovery maka permasalahan ketidakpuasan dan konflik yang dihadapi oleh industry hulu migas akan terselesaikan? Apakah dengan masuknya dana CSR dalam cost recovery akan secara otomatis gangguan tidak terjadi dan proses operasi perusahaan KKKS akan berjalan dengan lancar, sehingga penerimaan negara untuk migas bisa tercapai? Argumen-argumen ini yang seharusnya diwacanakan dan dikaji secara mendalam oleh BP Migas ketika akan memutuskan dana CSR akan kembali ke cost recovery.  Saya harap ada win-win solution atas masalah ini. Pemerintah tetap bisa menekan cost recovery tanpa kehilangan potensi penghasilan migas, dan investor tidak menurunkan minatnya untuk berinvestasi. Misalnya CSR tidak boleh terlalu luas, hanya radius 10 kilometer, 20 kilometer. Menyentuh kebutuhan pokok, ada datanya, jelas, dan akuntabel.

Peran BP Migas

Isu terakhir yang saya angkat dalam tulisan ini adalah adanya kesangsian atas peran BP Migas sebagai badan pelaksana kegiatan hulu minyak dan gas bumi. Terus membengkaknya biaya klaim pembayaran investasi (cost recovery) perminyakan dan gas disinyalir karena adanya ketidaktahuan BP Migas atas biaya sesungguhnya yang muncul dalam pengadaan barang dan jasa (eksplorasi). Penyebab ini dinilai turut andil dalam melonjaknya biaya cost recovery yang mencapai Rp 120 triliun per tahun.  Keberadaan BP Migas ini justru kontraproduktif, menghambat investasi perminyakan di Indonesia karena produksi anjlok. Tidak adanya pengawasan di BP Migas dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Maka usulan untuk pembentukan dewan komisaris di BP Migas adalah solusi untuk jangka pendek. Sedangkan untuk jangka panjang, ada usulan untuk BP Migas dilikuidasi dengan mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan menyerahkan soal kontrak kerja sama minyak kepada Pertamina, mengingat kontrak kerja sama diserahkan kepada perusahaan minyak negara dilakukan di semua negara penghasil minyak, misalnya saja Petronas Malaysia. Ya, Pertamina  memang lebih berpengalaman dalam melakukan investasi sehingga tahu berapa biaya yang dibutuhkan untuk pengeboran, berapa biaya eksplorasi di lepas pantai, berapa di daratan.

Persoalan terkait mekanisme cost recovery dalam kaitannya dengan Production Sharing Cost (PSC) akan selalu berkembang. Medio 5 tahun pasca pemberlakuan Permen ESDM Nomor 22 Tahun 2008 dan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 menunjukkan banyaknya isu panas yang harus mendapatkan penyelesaian. Kebocoran negara mungkin sudah dapat diatasi dengan mekanisme yang menurut saya telah apik untuk mencegah kebocoran penerimaan negara. Namun semua kembali kepada integritas para pemangku kepentingan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi ini. Peranan BP Migas sebagai pengawas serta BPKP dan BPK sebagai auditor harus tetap independen dan lebih dioptimalkan untuk memastikan bahwa pelaksanaan di lapangan telah sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan sebagai pihak pemerintah yang paling berkaitan dengan masalah cost recovery harus secara pintar merumuskan kebijakan yang dapat memfasilitasi semua kepentingan stakeholder pada titik tertinggi, dengan tetap maksimalisasi keuntungan pemerintah tanpa menurunkan iklim investasi.

Pada akhirnya, salah satu dari kedua calon presiden ini akan memimpin roda pembangunan Indonesia untuk setidaknya 5 tahun ke depan. Pembangunan membutuhkan sokongan dana yang kuat, yang bisa didapatkan dari mekanisme pajak dan PNBP yang juga kuat. Mungkin memang penerimaan migas belum terlalu material untuk porsi APBN, namun ketika dioptimalkan, baik dalam segi peraturan, sumber daya, political will, law enforcement, keilmuan, saya yakin akan sangat besar leverage-nya untuk penerimaan negara, pun untuk mengeliminasi potensi-potensi kebocoran.

Maka jangan sampai janji-janji kampanye hanya ucapan manis belaka, impian yang membumbung ke angkasa, tapi tanpa substansi praktis yang implementatif. Melalui tulisan ini, saya sebagai anak bangsa telah mencoba memberikan beberapa gambaran dan masukan yang sedikit banyak akan berpengaruh pada peningkatan penerimaan negara dan pencegahan kebocoran kekayaan negara. Sumbangan pemikiran saya ini juga merujuk pada pemikiran-pemikiran anak-anak bangsa lainnya, yang mempunyai semangat sama, yaitu membangun Indonesia.