20.8.13

Kawah Ijen: Kawah yang tak pernah 'ijen'

Jarum jam telah menunjukkan pukul 22:04 ketika roda-roda Isuzu Elf (akhirnya) mulai berjalan, pertanda bahwa rencana tuk mengejar sunrise sepertinya harus dikubur dalam-dalam. Namun hal ini tak menyurutkan semangat sekelompok anak muda Lakarsantri, Surabaya, untuk menikmati keindahan alam Kawah Ijen, destinasi saya selanjutnya tepat sepulang dari Tanjung Kodok.

Iya, saya bukan warga Lakarsantri, ada cerita bagaimana saya tiba-tiba berada di tengah-tengah rombongan ini. Berawal dari tweet @norrispranata yang berisi rencananya menghabiskan weekend, hasrat lama tuk berkunjung ke tanah Ijen tuk pertama kalinya muncul kembali. Beruntung, setelah ditanyakan, trip manager bilang masih ada seat kosong. Mantap. Cukup dengan dana 110ribu saja, saya bisa ikut transportasi rombongan Surabaya-Bondowoso PP. Murah ya. :)

Sebutir antimo berhasil membuat saya berada dalam tidur yang dalam sepanjang perjalanan. By the way, saya selalu berpendapat bahwa antimo keliru menahbiskan dirinya sebagai obat anti mabok, lebih pantas sebagai obat tidur ini mah, obat bius malah. lol. Benar saja, bangun-bangun saya telah berada di pos pertama kawasan wisata Kawah Ijen. 9 jam perjalanan sepertinya hanya dalam satu kedipan mata. Thank you, antimo. *hugs*
TIPS: Minum antimo sebelum naik kendaraan. Efeknya lebih joss!

Rombongan Lakarsantri tiba di pos pertama

Di pos pertama, rombongan diwajibkan untuk melapor kepada petugas. Saya takjub dengan pemandangan yang disuguhkan di sini. Barisan pegunungan seakan berpesan selamat datang kepada pengunjung. Kalaupun ini teaser, dan teaser saja indahnya seperti ini, bagaimana dengan Kawah Ijen-nya? I can hardly wait!


Spend a whole morning right here, with me. Would you?
Akhirnya, setelah total hampir 10 jam perjalanan, tiba juga rombongan di Pos Paltuding, gerbang Kawasan Wisata Kawah Ijen. 10 jam memang waktu yang melebihi standar googlemaps, yang menginfokan bahwa Surabaya - Kawah Ijen cukup ditempuh dalam waktu 7 jam. Ada force majeur yang terjadi, jalur utama ditutup karena adanya perbaikan jembatan, sehingga pak supir-yang-sepertinya-belum-mengerti-medan diharuskan banyak bertanya agar tak sesat di jalan.

Dari gerbang, kami tidak langsung dapat menikmati keindahan kawah Ijen yang tersohor itu. Wisatawan diharuskan berjalan kaki, menyusuri jalur berpasir nan licin yang menanjak dan berkelok-kelok sepanjang kurang lebih 3 kilometer yang biasanya ditempuh dalam waktu 90 menit. 1,5 km pertama terasa berat karena jalurnya menanjak hampir 45 derajat. Beauty is pain, eh?
TIPS: Sempatkan stretching sebentar sebelum memulai pendakian, supaya kaki tak terasa kaget langsung diajak mendaki setelah berjam-jam hanya duduk di kendaraan.

Mulainya 1,5 km kedua ditandai dengan pos penimbangan belerang. Iya, Kawah Ijen memang kawah yang penuh dengan belerang, jadi jangan kaget apabila sepanjang perjalanan bertemu dengan kuli angkut belerang. Mengingat jalur berpasir ini tidak seberapa lebar, tak jarang saya harus minggir dulu untuk memberikan kesempatan penambang belerang lewat. Kasihan juga mengingat bawaannya puluhan kilogram. Ga mau juga kan kepala benjut kena belerangnya?

Seorang penambang belerang, sempat minta uang rokok sebagai ongkos foto.
TIPS: Kalau mau ambil foto penambang, candid saja. Daripada ada ga enak ga enakan.
Di pos penimbangan, saya sempat mengobrol dengan seorang kuli angkut belerang, yang saya tidak sebut namanya di sini. (Bukan karena melindungi, tapi karena saya lupa)
"Berapa kilo Pak sekali angkut?"
"Ini 70 kilo, Mas. Dulu waktu diliput TV Austria, saya pernah bawa 120 kilo."
"Wah. Sekilonya dihargai berapa, Pak?"
"780 rupiah, Mas."
"Oh, ini penimbangan memang punya pertambangan apa gimana? Dapat pembayaran di sini?"
"Ini cuma timbangan aja, Mas. Dapet nota. Di bawah nanti ditimbang lagi, dicocokkan sama nota, baru dapat pembayaran."
"Nama perusahaan pertambangannya apa, Pak?"
"*******, Mas." (Nama disamarkan bukan untuk melindungi kepentingan perusahaan, tapi sekali lagi, karena saya lupa)

Hanya 780 perak untuk setiap kilonya. Be thankful, always.

Oke, setelah menambah persediaan air minum, kami pun kembali ke perjalanan menuju Kawah Ijen. Jalur di 1,5 km kedua terhitung lebih mudah dari jalur sebelumnya. Jalurnya lebih datar, landai, dan pemandangannya indah. Hijaunya tanaman gunung dan jalur yang kecoklatan berpadu apik dengan sejuknya angin, membuat kita berdecak kagum dan tak sengaja berucap Subhanallah.


Subhanallah..

Subhanallah blurnya -___-

Dan tak lama kemudian perjalanan yang melelahkan pun terbayar sudah, ketika keindahan Kawah Ijen terpampang di depan mata. 23 tahun hidup akhirnya bisa melihatnya juga. Nyata.

Kawah Ijen
Mas-mas baju coklat ini mengurangi keindahan kawahnya saja ya. Iya.


Yang meninggalkan. Yang ditinggalkan.

A couple of sulfur. Sebuah sindiran bagi mereka yang datang 'ijen'(?)

Papan larangan untuk turun ke kawah. Namun masih banyak pengunjung yang nekat turun ke bawah (termasuk kami)

Foto diambil setelah turun mendekati kawah. Tidak bisa lebih dekat ke danau dikarenakan angin yang tak bersahabat, meniupkan asap belerang yang memaksa kami untuk segera naik ke atas.
TIPS: Pakailah masker untuk mengantisipasi asap belerang yang dapat mengganggu sistem pernapasan
Saya jatuh cinta dengan lagu pengisi The Hobbit, Song of The Lonely Mountain (bisa didengar di Rolling Stone). Perjalanan ke Ijen ini mengingatkan saya pada lagu tersebut. Secara estimologi, Lonely Mountain berarti gunung yang kesepian, dan Kawah Ijen juga kalau diartikan secara suroboyoan berarti kawah yang sendirian. Sama-sama sendirian, sama-sama kesepian.

Namun melihat ke'pecah'an Kawah Ijen, rasanya wisatawan baik domestik maupun mancanegara akan selalu rela jauh-jauh mencapainya. Ditambah dengan keluarga penambang yang menggantungkan hidup pada belerangnya, saya yakin kawah ini takkan pernah sepi, takkan pernah sendiri. Takkan pernah merasa 'ijen'.

Maka saya belajar dari perjalanan ini. Untuk tak pernah merasa sepi, jadilah sesuatu yang mempunyai nilai guna, jadilah seseorang yang terbuka, jangan pernah menutup diri terhadap dunia.

Singkat cerita, perjalanan berakhir dengan badan beraroma belerang, sepatu yang menganga, dan satu butir antimo, tentunya. Bangun-bangun saya sudah berada di Surabaya. Lagi-lagi, dalam satu kejapan mata.

Bius!

19.8.13

Tanjung Kodok: Ternyata kodok aktivis LDR

Banyak bilang saya adalah pribadi yang suka membahas hal yang mungkin banyak orang anggap kurang penting. Misalkan dalam kasus ini, saya suka bingung dengan penamaan beberapa tanjung di Indonesia.

Seperti Tanjung Perak, apakah dulu Surabaya bekas pertambangan perak, ataukah di setiap perhelatan PON kontingen Jatim cuma dapat medali perak? Apakah dulu Jakarta adalah sentra penjualan panci hingga muncul nama Tanjung Priok? Lalu apakah di Batam sering ada nikah massal jadi banyak kegiatan meminang makanya ada Tanjung Pinang?

Oke I do admit, daripada bingung atas pertanyaan-pertanyaan di atas, akan lebih cepat bila saya langsung mengetiknya di kolom search Google, ya? Namun weekend kemarin saya semakin yakin bahwa achievement feeling atas penemuan sebuah fakta akan berasa lebih ketika kita mendapatkannya langsung dari alam, melalui observasi, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Sabtu kemarin saya keluarga berkunjung ke Wisata Bahari Lamongan (WBL), sebuah tempat wisata yang memiliki konsep serupa dengan Jawa Timur Park-nya Malang, namun bedanya WBL mengambil lokasi di dekat pantai. Dan iya, hari Sabtu memang bukan waktu yang tepat untuk dapat puas menikmati semua wahana di tempat wisata model begini. Ramai! (Singkat kata saya hanya mencoba satu wahana bernama SPEED FLIP, dan sudah bikin muntah dua kali -__-)

Kapok berwahana, saya langsung mengajak keluarga beranjak ke pantai, berharap semilir angin laut bisa membuat perut enakan. Pantai di area WBL ini tidak bisa dibilang biasa saja, karena pemandangannya indah langsung berhadapan dengan Laut Jawa, dan pihak WBL berhasil merancangnya sedemikian rupa hingga terasa nyaman untuk menjadi area berkumpul keluarga.

Tanjung Kodok

Di sini saya disambut oleh sebuah objek bernama Batu Kodok. Jadi ini yang menyebabkan kenapa pantai ini bernama Tanjung Kodok. But still, masih ga ngerti kenapa bernama Batu Kodok.

Batu Kodok dipasangi nametag.

Ternyata setelah dilihat dari spot yang lain, Batu Kodok ini memang berbentuk seperti kodok. Ini foto yang saya ambil dari anjungan di sisi yang berbeda dari Tanjung Kodok.
Seperti seekor kodok yang menghadap Laut Jawa. Mungkin lagi rindu sama pacarnya di Kalimantan.
Di perkuliahan, pelajaran Teori Akuntansi mengajarkan saya untuk melihat dari perspektif yang berbeda. Bagaimana sebuah teori dibentuk dan bagaimana teori tersebut dilihat, baik oleh akuntan maupun oleh pengguna informasi akuntansi. Yah contohnya seperti orang-orang yang menilai sebuah gajah di bawah ini:

Mungkin akan lebih ngena jika yang diamati itu kodok.
Haha penting ga penting ya? Yah terlepas dari fakta-tanjung-kodok-yang-saya-senang-mendapatkannya, hari itu saya dan keluarga mendapatkan quality time untuk bersenang-senang bersama. We really did. Hehe :)

Wahana prosotan untuk keponakan. Modal: Karton bekas :))

Wisata Bahari Lamongan, 17 Agustus 2013

3.8.13

Heroes of Silaturahmi

Hari itu hari terakhir perkuliahan sebelum lebaran. Seperti biasa, Bapak satpam kampus penjaga parkiran motor selalu murah senyuman, sambil serius mencocokkan nomor polisi, STNK, dan kartu parkiran. Lalu beliau melontar tanya.

"Belum mudik, Mas? Naik motor ke Surabaya? L plat Surabaya kan ya?"

"Hehe yang benar saja, Pak. Sabtu, naik kereta. Bapak kapan? Ke mana?"

"Tanggal 20, Mas. Ke Tulungagung"

"Lho, setelah berlebaran dong?"

"Yah gimana lagi, Mas. Kalau saya mudik, nanti yang jaga kampus siapa dong."

"..."
(Saya sejenak terdiam. Ini adalah saat di mana saya ingin berempati, namun bingung harus apa agar tak terlihat sekedar basa-basi)

"Hmm. Sabar ya, Pak."
(Baiklah, semoga ini proper)

"Hehe iya, Mas. Hati-hati ya."

"Iya Bapak, terima kasih. Mari."

"Mari."

Tertegun. Obrolan singkat di atas kembali menyadarkan saya akan adanya sebuah fenomena yang samar, yang selalu menyertai euforia mudik lebaran. Sebuah fenomena dalam fenomena.

"Tak semua perantau berbahagia ketika lebaran tiba. Tak sedikit di antara mereka yang terpaksa menetap di tempat kerja. Entah karena tuntutan kerja, atau kendala biaya."

Bagi saya, esensi idul fitri adalah ketika orang-orang terdekat bisa saling melekatkan jemari, memaafkan dengan hati, lalu bersama-sama kembali fitri. Lalu bagaimana dengan mereka yang senasib dengan Pak Satpam?

Tak hanya pak satpam, masih banyak profesi lain yang mengharuskan tetap bekerja. Wartawan, polisi, penjaga pintu tol, kuli angkut stasiun, etc. You name it. Atas nama profesionalisme, kerinduan untuk berkumpul sanak saudara harus rela ditahan lebih lama.

I just couldn't imagine what I'd feel if I were on their shoes. Karena alhamdulillah, 23 tahun hidup selalu dekat dengan keluarga di setiap edisi lebaran.

Akhir kata, berbahagialah mereka yang bertemu keluarga, bersabarlah mereka yang harus terkendala, dan mari berdoa untuk kekuatan mereka yang terkendala.

Karena tanpa mereka, mungkin tak ada rasa aman bagi kita dalam ber-hari raya. Tanpa mereka, tak akan ada info arus mudik dan arus balik di liputan berita. Dan tanpa mereka, mungkin tak ada kiriman uang untuk baju baru si bungsu yang menunggu di desa.

They are the heroes of silaturahmi. They are.

*tulisan ini dibuat di dalam gerbong yang membawa saya kembali ke Surabaya. Dan dari dalam kereta, saya memanjatkan doa. Untuk mereka yang (harus) tertinggal di Jakarta.

Miranda Rights

Premis 1: Rabu kuliah telah usai.
Premis 2: Tiket mudiknya masih Sabtu.
Kesimpulan: What now? Kalau ga tau mesti ngapain, gampangnya sih reschedule tiket ya. Tapi itu juga selama tiketnya available. Err, selama tiketnya affordable, I mean. :p #mahasiswa

Well, 3 hari nganggur sepertinya waktu yang tepat untuk menyentuh drive G:DATA/MOVIES LIKE JAGGER yang lama tak tersentuh. Berawal dari rasa penasaran seberapa channing si Charming Tatum :p, the man who’s most talked about pas ini film booming medio 2012 dulu, dan sertifikasi 85% fresh tentunya (PS: Call me lazy, I easily do a prejudgement whether a movie is worth a watch or not, only by its rating). I picked 21 JUMP STREET, then. 




Oke sedikit cerita tentang jalannya film. Intinya film berdurasi 109 menit ini berfokus pada persahabatan Schmidt (Jonah Hill) dan Jenko (Channing Tatum). Musuhan di kampus, ketemu lagi di akademi kepolisian, sahabatan, lulus jadi polisi, terus jadi satu partner dalam penugasan. Plot utama film ini datang dari seru dan kocaknya perjuangan mereka dalam sebuah misi. Sebuah misi yang mengharuskan mereka nyamar jadi highschool student lagi: “Infiltrate the dealers, find the supplier.”

Dengan script yang penuh akan rude (yet extremely smart) jokes ala amerikiyah, scene penggunaan miras dan obat-obatan terlarang, dan beberapa sexual content, tak heran kalau ini film kategori rated R. Namun di balik itu semua, ini film sarat makna. Entah, rasanya banyak aja hikmah yang bisa diambil dari persahabatan si Schmidt dan Jenko ini. Persahabatan yang menjurus bromance sih, haha. Let me try to list the points:


1. Difference doesn’t separate. Difference unites.
Schmidt is the nerd one, Jenko is the cool one. Schmidt terbiasa tertindas, Jenko naturally teratas. Schmidt seorang ahli teori, Jenko seorang praktisi.
See the differences? Ya, mereka berbeda. 180 derajat. Tapi justru perbedaan inilah yang menyatukan mereka. Terlihat ketika berada di police academy, Schmidt membantu persiapan Jenko untuk ujian teori, dan Jenko memotivasi Schmidt dalam tes lari. And they passed it. Together.
Klise memang, tapi ketika tahu formula tuk kombinasi, perbedaan bisa saling melengkapi. Layaknya elektron yang melompat-lompat tuk stabilkan proton, atau mungkin sebaliknya? Proton berkeliaran mencari elektron. Kovalen.