3.8.13

Heroes of Silaturahmi

Hari itu hari terakhir perkuliahan sebelum lebaran. Seperti biasa, Bapak satpam kampus penjaga parkiran motor selalu murah senyuman, sambil serius mencocokkan nomor polisi, STNK, dan kartu parkiran. Lalu beliau melontar tanya.

"Belum mudik, Mas? Naik motor ke Surabaya? L plat Surabaya kan ya?"

"Hehe yang benar saja, Pak. Sabtu, naik kereta. Bapak kapan? Ke mana?"

"Tanggal 20, Mas. Ke Tulungagung"

"Lho, setelah berlebaran dong?"

"Yah gimana lagi, Mas. Kalau saya mudik, nanti yang jaga kampus siapa dong."

"..."
(Saya sejenak terdiam. Ini adalah saat di mana saya ingin berempati, namun bingung harus apa agar tak terlihat sekedar basa-basi)

"Hmm. Sabar ya, Pak."
(Baiklah, semoga ini proper)

"Hehe iya, Mas. Hati-hati ya."

"Iya Bapak, terima kasih. Mari."

"Mari."

Tertegun. Obrolan singkat di atas kembali menyadarkan saya akan adanya sebuah fenomena yang samar, yang selalu menyertai euforia mudik lebaran. Sebuah fenomena dalam fenomena.

"Tak semua perantau berbahagia ketika lebaran tiba. Tak sedikit di antara mereka yang terpaksa menetap di tempat kerja. Entah karena tuntutan kerja, atau kendala biaya."

Bagi saya, esensi idul fitri adalah ketika orang-orang terdekat bisa saling melekatkan jemari, memaafkan dengan hati, lalu bersama-sama kembali fitri. Lalu bagaimana dengan mereka yang senasib dengan Pak Satpam?

Tak hanya pak satpam, masih banyak profesi lain yang mengharuskan tetap bekerja. Wartawan, polisi, penjaga pintu tol, kuli angkut stasiun, etc. You name it. Atas nama profesionalisme, kerinduan untuk berkumpul sanak saudara harus rela ditahan lebih lama.

I just couldn't imagine what I'd feel if I were on their shoes. Karena alhamdulillah, 23 tahun hidup selalu dekat dengan keluarga di setiap edisi lebaran.

Akhir kata, berbahagialah mereka yang bertemu keluarga, bersabarlah mereka yang harus terkendala, dan mari berdoa untuk kekuatan mereka yang terkendala.

Karena tanpa mereka, mungkin tak ada rasa aman bagi kita dalam ber-hari raya. Tanpa mereka, tak akan ada info arus mudik dan arus balik di liputan berita. Dan tanpa mereka, mungkin tak ada kiriman uang untuk baju baru si bungsu yang menunggu di desa.

They are the heroes of silaturahmi. They are.

*tulisan ini dibuat di dalam gerbong yang membawa saya kembali ke Surabaya. Dan dari dalam kereta, saya memanjatkan doa. Untuk mereka yang (harus) tertinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar